Mengikis Selimut Polusi dengan Transisi Energi
05.08Siapa yang suka mengoleksi foto langit biru di galeri smartphone?
Sepertinya tidak sedikit dari kita yang suka sekali memandangi langit biru, karena memandangi birunya langit terasa menenangkan pikiran dan memberikan suntikan semangat. Apalagi jika ditambah udara bersih bebas dari polusi yang membuat tubuh sehat. Rasanya ingin segera mengabadikan momen tersebut dengan kamera smartphone, lalu menjadi koleksi di galeri. Namun, tampaknya di kota-kota besar agak sulit untuk bisa memandang langit biru dan menghirup udara yang bebas dari polusi. Sebut saja di Jakarta. Pada saat pandemi baru terjadi sekitar tahun 2020 yang menyebabkan adanya peraturan PSBB nampaknya berdampak positif untuk lingkungan bagi kota-kota besar. Di Jakarta saat itu efeknya adalah beberapa kali langit Jakarta menjadi biru cerah bahkan cantiknya langit Jakarta sempat menjadi perbincangan hangat di Twitter sampai hashtag #LangitJakarta trending, loh.
Hal itu
terjadi karena saking langkanya pemandangan langit biru di Jakarta dan sekitarnya.
Selain itu, kita juga sering mengasosiasikan bahwa birunya langit merupakan indikator
udara bersih bebas polusi. Pada kenyataannya hal tersebut belum tentu benar,
loh. Menurut IQAir, Jakarta menempati posisi pertama sebagai kota paling
berpolusi di Indonesia (15/03/2022). Sementara itu, Indonesia sendiri menempati
posisi pertama sebagai negara paling berpolusi di Asia Tenggara dan posisi
ke-17 di dunia berdasarkan versi IQAir pada tahun 2022 ini. Polusi udara
merupakan ancaman bagi kerusakan lingkungan, terjadinya krisis iklim, dan juga
memicu berbagai masalah kesehatan serius (Menurut Air Quality Life Index, rata-rata orang Indonesia diperkirakan dapat kehilangan 2,5 tahun dari
usia harapan hidupnya akibat polusi udara –Kata Data 2021)
Berbicara
tentang polusi, kemarin (18/10/2022) aku mengikuti online gathering #EcoBloggerSquad yang bertema Transisi Energi dan
Selimut Polusi dengan pembicara kak Fariz Panghegar selaku Manager Riset dari
Traction Energy Asia. Pembahasan gathering
kali ini topiknya tak kalah menarik dengan gathering sebelumnya. Gathering kali ini memberikan insight
baru seputar transisi energi yang diperlukan sebagai solusi untuk mengikis
selimut polusi. Simak tulisanku sampai habis ya untuk mengetahui lebih lanjut
tentang topik bahasan gathering kali
ini.
Gulungan Selimut Polusi Sebagai Penyebab
Perubahan Iklim
Tahukah
kamu darimana asalnya gulungan selimut polusi? Tentunya ada yang terbentuk
alami dan ada juga karena aktivitas manusia. Berdasarkan penyebabnya, polusi
ada banyak macamnya dari mulai polusi panas, polusi logam berat, polusi cahaya,
polusi air, polusi tanah, dan polusi udara. Jenis-jenis polusi tersebut tentu
saja mengganggu aktivitas kita. Ditambah lagi aktivitas kita juga ternyata
semakin memperparah polusi, seperti asap kendaraan dan asap pabrik yang tak
terkendali. Polusi-polusi tersebut terkumpul di udara yang kemudian menumpuk
menjadi gulungan selimut polusi.
Hal
tersebut tentu saja tidak baik bagi bumi, karena jumlah gas yang berada di
atmosfer memerangkap sinar matahari yang membuat suhu bumi semakin panas sehingga
disebut sebagai efek gas rumah kaca. Gas rumah kaca menyebabkan naiknya
kumpulan polusi yang menyelimuti atmosfer bumi, meningkatkan suhu bumi secara
perlahan (global warming) dan
menyebabkan perubahan cuaca secara luas dalam jangka waktu yang panjang (perubahan
iklim), serta terjadinya bencana lingkungan.
Efek gas
rumah kaca tersebut sifatnya merusak dan menimbulkan bencana. Menurut BNPB,
bencana terkait efek gas rumah kaca adalah bencana yang paling sering terjadi
di Indonesia pada tahun 2021. Kita bisa lihat berbagai bencana yang terjadi di
Indonesia dari mulai cuaca ekstrem, yaitu ketika kemarau cenderung menimbulkan
kekeringan panjang dan sebaliknya ketika musim hujan menimbulkan kebanjiran. Selain
itu, kebakaran hutan juga seringkali terjadi, volume air laut meningkat, kawasan
pesisir banjir, dan pulau kecil terancam tenggelam. Kedepannya dampak dari GRK
akan semakin parah dan menjadi ancaman serius bagi lingkungan global.
Transisi Energi Sebagai Solusi Pemanasan
Global
Salah satu solusinya adalah di sektor energi, yaitu dengan transisi energi yang diperlukan untuk mengikis selimut polusi efek gas rumah kaca yang menyelimuti atmosfer bumi untuk mencegah terjadinya bencana lingkungan. Transisi energi sendiri berarti upaya mengurangi penggunaan energi fosil dengan energi non fosil yang rendah polusi dan emisi gas rumah kaca. Singkatnya, ketika dulu kita menggunakan bahan kendaraan fosil, maka kemudian diganti menjadi bahan bakar dari energi “sebagian fosil”. Atau bisa juga dalam kasus dulu hingga kini kita menggunakan listrik dari energi fosil, maka kemudian ditransisi menjadi listrik dari energi non fosil.
Transisi
energi diperlukan karena mengingat kini jumlah kendaraan pribadi berbahan fosil
terus meningkat, pembangkit listrik yang masih menggunakan energi fosil, dan
pembalakan hutan untuk produksi sumber energi. Faktanya adalah emisi dari kendaraan
berbahan fosil, pembangkit listrik berbahan fosil, dan penebangan hutan
merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar, loh. Selain itu, penambangan
energi fosil, seperti minyak bumi dan batu bara juga melibatkan aktivitas
penebangan hutan.
Transisi
energi bisa diimplementasikan baik di sektor transportasi, kelistrikan, dan
sebagainya. Sektor-sektor tersebut yang biasanya menggunakan sistem energi
berbasis fosil (seperti gas alam, minyak, dan batu bara) kemudian ditransformasikan
menjadi sumber energi yang terbarukan, seperti air, tenaga angin, cahaya
matahari, dan sebagainya. Hal ini juga didukung oleh pertumbuhan teknologi yang
meningkat membuat urgensi transisi energi yang terbarukan, berkualitas, dan
efisien semakin diperlukan.
Indonesia
sendiri memiliki potensi besar dalam mengembangkan energi terbarukan guna
mewujudkan transisi energi. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam
mengurangi emisi sampai dengan 29% pada tahun 2030. Beberapa contoh inovasi transisi
energi di Indonesia adalah inovasi biodiesel dari minyak jelantah, inovasi
listrik biogas yang berasal dari sampah organik, dan masih banyak lagi. Salah
satu hal yang membanggakan adalah Indonesia memiliki PLTB pertama dan terbesar yang
terletak di Sulawesi Selatan, yaitu PLTB Sidrap dan PLTB Tolo.
Semoga
kedepannya semakin banyak inovasi negeri ini terkait transisi energi, sehingga
bisa berkontribusi dalam memerangi efek dari pemanasan global dan mengikis
selimut polusi.
Yuk
berkolaborasi bersama menghajar selimut polusi demi bumi yang lestari 💚
0 komentar