Hari itu pukul satu siang, aku menginjakkan kaki di Jogja National Museum untuk melihat pameran seni kontemporer terbesar yang digelar tiap tahun, yaitu ARTJOG MMXXII.
Aku sangat excited. Tahun ini Artjog akhirnya bisa digelar secara offline setelah dua tahun hanya dinikmati secara online karena pandemi Covid-19. Di halaman parkir museum kendaran sudah penuh. Pintu masuk galeri yang didominasi oleh warna putih dipenuhi pengunjung yang mengular untuk mengantre membeli tiket masuk ArtJog. Aku bergegas ikut mengantre. Setelah tiket sudah di pergelangan tangan, aku langsung masuk ke galeri.
Pengunjung langsung disambut oleh karya instalasi utama Artjog MMXXII atau Commissioned Artist yang berjudul Personal Denominator oleh Christine Ay Tjoe. Karya tersebut sangat mencolok. Ukurannya sangat besar berupa perwujudan spesies mikroskopis yang memiliki kemampuan bertahan hidup di lingkungan yang ekstrem.
Aku melangkahkan kaki menuju ruangan berikutnya. Namun, mataku langsung menangkap ke lukisan yang digantung di tangga menuju lantai 2. Aku terpana karena lukisan tersebut berupa kanvas putih kosong dengan bingkai ukir emas. Aku penasaran. Untuk apa lukisan kosong tersebut dipajang di situ? Aku langsung berjalan menghampirinya. Semakin mendekat, dari anak tangga aku pun mendengar sayup-sayup suara yang berasal dari audio di dekat lukisan tersebut. Pengunjung di sini ramai, tetapi anehnya tak ada yang singgah untuk melihat atau berfoto dengan lukisan tersebut. Berbanding terbalik dengan lukisan atau instalasi lainnya yang ramai menjadi objek foto pengunjung. Kebanyakan pengunjung mengabaikannya dan berjalan melaluinya.
Sesampainya di depan lukisan kanvas putih polos itu aku langsung tertegun. Sejurus kemudian otakku langsung memasuki mode kilas balik. Aku seperti ditarik pada suatu kelas pengkajian Sastra yang pernah aku ikuti di bangku kuliah. Saat itu, aku mendapatkan tugas analisis individu yang korpusnya berupa drama berjudul L'Art karya Yasmina Reza. Saat menganalisis tugas tersebut aku sangat bingung karena isi dramanya menurutku agak absurd, tetapi sangat amat menarik. Aku merasa kurang maksimal dalam mempresentasikan tugas tersebut karena banyak hal yang masih aku pertanyakan. Drama L'Art sendiri menceritakan tentang tiga sahabat yang memperdebatkan sebuah lukisan kanvas putih polos. Serge membeli lukisan polos tersebut dengan harga yang sangat mahal dan ia menganggap hal itu wajar sebab itu merupakan lukisan kontemporer yang keren. Sementara, Marc tidak habis pikir dengan sikap Serge yang membuang uang hanya untuk lukisan polos itu. Lalu, Yvan mencoba untuk menjadi penengah antara keduanya, tetapi tidak berhasil.
Apakah lukisan ini perwujudan dari L'Art oleh Yasmina Reza? Atau jangan-jangan inilah lukisan dalam drama tersebut? Ah jadi lukisan itu nyata adanya? Eh tunggu, tapi sekarang aku bukan sedang di Paris. Ini di Jogja, mana mungkin kan?
Connecting the dots.
Suara dari audio kecil membangunkan aku dari lamunanku. Aku pun terperanjat dan penasaran mengapa harus ada audio di samping lukisan ini dan mengapa ada headset juga yang digantung di sebelahnya?
Aku mengambil headset dan langsung mendengarkan voice over yang mengalun dengan indah menarasikan pemandangan. Seketika aku tersadar bahwa audio ini menjelaskan komposisi dari lukisan putih polos ini. Rasa penasaranku semakin meningkat. Mataku langsung tertuju pada bingkai yang menjelaskan lukisan ini. Dari informasi tersebut aku mengetahui bahwa instalasi ini berjudul "Panorama" karya Untonk dan Dull.
Aku pun memahami konsepnya. Ah jadi maksudnya ini merupakan lanskap imajiner, sehingga kanvasnya memang dibuat putih polos. Lalu voice over ini membantu menuturkan komposisi yang biasanya ada pada lukisan pemandangan. Sadar tidak saat ketika kita kecil atau saat masih sekolah ketika ada tugas menggambar pemandangan, maka kita akan otomatis menggambar gunung, sawah, pohon, dan tak lupa juga disertai jalan di tengahnya. Sebuah lanskap pemandangan pedesaan yang klise bukan?
Aku jadi bertanya-tanya, siapa ya yang memulai hal ini? Mengapa juga kita secara otomatis dan default akan menggambar pemandangan dengan komposisi gunung, sawah, jalan? Lalu, apakah anak yang berdomisili di Indonesia Timur seperti di NTT yang mempunyai pemandangan savana juga otomatis akan menggambar pemandangan dengan komposisi seperti itu? Kemudian bagaimana dengan anak yang tinggal di pesisir pantai, apakah juga melakukan hal yang sama? Apakah definisi pemandangan selalu komposisinya seperti itu?
Siapa orang pertama yang mempopulerkan lukisan panorama Indonesia? Mengapa anak Indonesia pada umumnya memiliki pemikiran yang sama ketika melukis pemandangan? Bukankah otak kita itu meniru orang lain? Misalnya orang tua kita atau guru kita atau bahkan generasi yang lebih tua lagi. Singkatnya, ya turun-temurun.
Mataku tertuju lagi pada papan informasi tentang lukisan ini. Aku membaca lagi penjelasan tentang lukisan kanvas putih polos ini. Aku menangkap kalimat berikut,"Tuturan dalam audible painting ini didasarkan pada gambaran lukisan-lukisan mooi indie yang biasanya menampilkan objek bentang alam khas Indonesia."
Ada dua hal yang menarik, yaitu "audible painting" dan "mooi indie". Kembali lagi aku merasakan "aha moment" pertanda aku menangkap lagi konsepnya. Jadi ini didasarkan pada mooi indie. Aku tidak asing dengan aliran ini karena pernah ada pokok bahasan tentang aliran lukisan saat di bangku kuliah. Salah satu pelukis beraliran mooi indie yang terkenal, berasal dari pribumi, dan tidak asing ditelinga kita adalah Raden Saleh. Oiya, mooi indie sendiri merupakan bahasa Belanda yang artinya Hindia yang elok atau Hindia yang cantik.
Aliran mooi indie sendiri merupakan aliran lukisan yang berkembang pada abad 19 di Hindia Belanda. Dalam hal ini, aliran lukisan mooi indie merepresentasikan keindahan bentang alam Indonesia (Hindia Belanda) melalui lukisan. Objek lukisannya berupa pemandangan pedesaan hijau, hutan, sungai, sawah, kegiatan masyarakat sehari-hari, dan sebagainya.
Namun, aliran mooi indie lambat laun dikecam dan menuai banyak kritik karena pemandangan tersebut tidak selalu menggambarkan realitas yang sebenarnya dan lukisan mooi indie juga digunakan sebagai propaganda Belanda dalam mempromosikan pariwisata Indonesia. Hal ini tak selaras dengan perjuangan masyarakat Indonesia yang sedang melawan kolonialisme saat itu. Meskipun begitu, tampaknya aliran ini sudah mengakar kuat di masyarakat Indonesia karena seperti yang sudah aku sebutkan sebelumnya, ketika kita disuruh untuk melukis pemandangan maka secara otomatis kita akan cenderung melukis pemandangan keindahan alam pedesaan berupa pegunungan dan sawah. Iya mungkin itu salah satu efek jangka panjangnya ya who knows.
Kembali lagi dengan lukisan kanvas putih berjudul Panorama karya Untonk dan Dull ini. Nampaknya lukisan ini juga merupakan kritik dan ironi akan pemandangan Indonesia saat ini. Aku mendeteksi adanya isu lingkungan yang ingin mereka suarakan melalui kanvas putih kosong ini. Jika dulu aliran mooi indie dikritisi karena terlalu berlebihan dalam menggambarkan realitas hingga menyebabkan munculnya aliran realisme, maka lukisan ini pun menurutku polanya kurang lebih sama. Untonk dan Dull seperti ingin berbicara bahwa lanskap alam Indonesia yang hijau kian hari semakin langka. Jika dulu objek pemandangan hijau sering kita temui, tapi di masa kini dan masa depan akan sulit karena penebangan hutan kian masif dilakukan, pembangunan besar-besaran, alih fungsi lahan, pembukaan lahan, dan sejenisnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa lukisan ini merupakan ironi atau mungkin gambaran masa depan nanti ketika generasi mendatang sudah tidak bisa mendeskripsikan dalam lukisan ketika disuruh untuk menggambarkan pemandangan. Atau mungkin objek pemandangan bukan lagi bentang alam yang hijau, tetapi berubah menjadi gedung, aspal, dan hamparan beton.
Menurutku "Panorama" karya Untonk dan Dull ini sangat keren konsepnya dan sanggup membuat pengunjung merenungkan bagaimana kondisi alam seperti mooi indie kita akan punah jika kita tidak membuat gerakan untuk menyelamatkan bentang alam Indonesia. Lalu menggunakan istilah "audible painting" yang bagiku juga nampak sangat asing dan kreatif karena lukisan ini seperti bisa didengar bukan dilihat. Sayangnya, menurutku alangkah lebih baiknya lagi jika lukisan ini tidak di-display di tangga seperti ini karena letaknya sangat mempengaruhi ketertarikan pengunjung untuk kepo akan lukisan ini.
Lukisan ini terlalu bagus untuk sekadar dipajang di tangga dan hanya dilewati oleh para pengunjung. Lukisan ini seperti terabaikan. Alangkah baiknya lagi jika lukisan ini memiliki ruang khusus sebagai instalasi, sebagaimana instalasi di Artjog lainnya yang juga memiliki ruang khusus. Dengan begitu, pengunjung akan dengan leluasa menikmati karya "Panorama" dan merenungi makna yang tersimpan di dalam, sehingga pesan Expanding Awareness sesuai dengan tema Artjog tahun ini juga bisa tersampaikan. Begitu juga dengan karya-karya lainnya yang menampilkan keresahan atas sikap masyarakat yang apatis terhadap lingkungan sekitar. Secara keseluruhan, aku puas sekali bisa mengunjungi exhibition Artjog MMXXII dan tenggelam dalam lautan karya menakjubkan dari kurang lebih 61 seniman yang berpartisipasi.
Nah, itulah sepenggal kisah menemukan hal yang unik di Artjog tahun ini. Masih banyak hal lainnya yang unik di pameran ArtJog tahun ini. Apakah aku harus mengulas lukisan atau instalasi yang lainnya di ArtJog? Berikan pendapatmu di kolom komentar ya 😊
Semoga tahun depan bisa datang lagi ke Artjog. Semoga konsep dan temanya semakin bagus dan kreatif. Dan semoga semakin menyuarakan isu lingkungan dan sosial melalui seni, sehingga semakin banyak orang yang sadar.