Hai.. hai... Kalian pernah berpikir tidak tentang istilah “eksis”? Belakangan ini, istilah eksis hampir selalu dikaitkan dengan bagaimana cara kita “mengada” di media sosial. Tak jarang ketika kita sering menunjukkan keberadaan kita di media sosial, misalnya sering update IG story, TikTok, Twitter, dan sejenisnya pasti sering ada yang menyeletuk “eksis banget sih lo!”. Sebaliknya, orang yang jarang menunjukkan keberadaannya di media sosial hampir selalu dipertanyakan “kok gue nggak pernah ngeliat lo sih, kemana aja? Nggak eksis lo!”seolah-olah media sosial adalah satu-satunya tempat untuk menunjukkan “keberadaan” kita. Dan itu pernah terjadi padaku yang memang tidak selalu mengunggah aktivitas di media sosial. Lalu, seseorang berkata,"Hey...You may not wanna exist right now, but someone is very happy that you do."
Lalu aku pun membalasnya, "Hey please, just because it's not on social media, doesn't meant it's not happening. I think we don't have to post it to prove it. Everyone has their own choice."
Kemudian aku merenungi satu hal. Apakah kamu pernah bertanya tentang akar dari terminologi “eksistensi” itu berasal? dan mengapa harus ada terminologi tersebut? lalu apa makna sebenarnya terminologi tersebut?
Ok, jadi aku pernah belajar tentang pemikiran eksistensialisme oleh Jean Paul Sartre, yaitu salah satu filsuf Prancis. Dalam salah satu bukunya “L'existentialisme est un humanisme” (bahasa Inggris: Existentialism is a Humanism), Sartre menjelaskan bahwa eksistensi lebih dulu ada dibandingkan dengan esensi, yang bermakna bahwa manusia akan memiliki esensi jika ia eksis terlebih dahulu. Secara garis besar, eksistensialisme adalah pemikiran yang menekankan eksistensi, kebebasan, dan pilihan individu. Pemikiran ini memandang bahwa manusia dapat mendefinisikan makna mereka sendiri dalam kehidupan dan mencoba membuat keputusan rasional, sehingga manusia dipercaya sebagai titik pusat dari segala relasi kemanusiaan dan juga sebagai subjek yang bertanggung jawab atas pilihannya yang bebas.
Manusia punya rasa ‘sadar’ yang membedakannya dengan benda atau makhluk lain. Misalnya, ketika kita melihat sebuah laptop, maka kita dapat langsung memahami bahwa laptop dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan laptop tersebut dan begitu juga benda-benda lain. Oleh karena itu, benda-benda telah memiliki esensi bawaan yang otomatis ada padanya. Sebaliknya, manusia tidak memiliki hakikat bawaan, tetapi manusia adalah apa yang dibentuknya sendiri. Manusia ketika lahir berarti ia telah eksis dan ia bisa membentuk esensi dirinya.
Sebagai manusia, kita tidak memiliki hakikat bawaan sehingga ketika kita “mengada” dengan cara yang baik, maka kita akan menjadi pribadi yang baik. Sebaliknya, ketika kita “mengada” dengan jelek, maka kita akan menjadi pribadi yang jelek. Begitulah esensi diri kita yang dibentuk oleh diri kita sendiri dan kitalah yang membangunnya, maka jadilah versi terbaik dari dirimu karena esensi dibentuk oleh eksistensimu. Jika kita melihat tren saat ini bahwa banyak orang menggunakan media sosial sebagai platform untuk membangun personal branding - bahasa keren dari pencitraan hahaha ya sah-sah saja karena itulah cara orang tersebut eksis dan membangun esensinya. Dari pemikiran Sartre ini, aku pun jadi melihat perspektif baru bahwa kalau kita mau jadi apapun, maka bentuklah dirimu di hari ini, tidak perlu menunggu besok karena apa yang kita lakukan hari ini akan membentuk kita di hari depan nanti (man is nothing else but what he makes for himself).
Secara tidak langsung Sartre juga menganggap manusia sebagai makhluk yang bebas karena manusia “dikutuk” bebas untuk membentuk esensinya sendiri. Namun, kebebasan kita itu pasti ada batasnya dan ada resikonya. Ketika kita memilih satu pilihan dalam hidup tentang apapun itu, maka mau tidak mau akan ada resiko yang akan kita dapatkan. Bahkan ketika kita tidak memilih pun itu merupakan sebuah pilihan. Setiap pilihan kita pasti akan ada resikonya dan tugas kita ada bertanggung jawab terhadap pilihan hidup yang kita buat. Man is condemned to be free because once thrown into the world he is responsible for everything he does. It is up to you (life) a meaning. Pemikiran Sartre tentang eksistensialisme ini menurutku sangat bagus karena kita bisa jadi punya perspektif baru bahwa kita bebas menentukan esensi hidup kita karena kita sudah eksis di dunia ini dan limitnya kita adalah kematian. Sartre juga menyebarkan positive vibes melalui pemikirannya yang humanis sehingga memberikan pengaruh baik ke banyak orang. Maka selama kita di dunia, bentuklah esensi diri kita dengan sebaik-baiknya.